Saturday, January 13, 2018

Peraturan Pemerintah No. 52/2017: Akhir Kontroversi DLP?

Baru-baru ini, Sektretaris Kabinet RI mengumumkan bahwa presiden sudah menandatangani Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2017 tentang Pendidikan Kedokteran. Walaupun dalam tanda tangan tercantum tanggal 27 Desember 2017, info ini baru diumumkan secara resmi oleh setkab.go.id pada 11 Januari 2018.


Pertanyaan besarnya: lalu apa setelah adanya PP yang muncul karena amanat UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran? Yang lebih seru dibahas, tentu polemik Dokter Layanan Primer, yang banyak disinggung dalam PP ini.

Mengapa Perlu Ada Peraturan Pemerintah (PP)?

Mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011 bawa PP "Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang- undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.". Dalam hal ini berdasarkan konsultasi teman saya (Rico Novianto, calon wisudawan Februari 2018), PP bersifat pelasana sedangkan UU umum-abstrak. Kita dulu pun sempat belajar tentang hierarki hukum di Indonesia, walau di bawah UU, tetapi PP tetap mengikat ke seluruh warga Indonesia.

Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Memang telah dicantumkan pada pasal 7 ayat (9) di UU bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai program DLP dan program internsip diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pun dalam 6 ayat (6) bahwa syarat dan ketentuan pembentukan FK/FKG diatur dalam PP.

PP No. 52/2017 tersebut pun dituliskan dalam pertimbangannya dibuat dan hanya dibuat berdasarkan pasal-pasal di UU No. 20/2013.

Di UU No. 23/2013 juga dituliskan hal-hal yang akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri seperti seleksi mahasiswa, ketentuan warga negara asing, atau sanksi administratif.

Lalu, Apa Perbedaan PP dan UU Pendidikan Kedokteran?

Adapun komponen-komponen dalam UU yang dibahas secara umum adalah:
1. Tujuan pendidikan kedokteran
2. Syarat-syarat pembentukan dan penyelenggaraan
3. RS/wahana pendidikan
4. Dosen
5. Standar Nasional Pendidikan Kedokteran
6. Kurikulum
7. Syarat menjadi mahasiswa FK
8. Warga Negara Asing
9. Beasiswa
10. Uji Kompetensi
11. Penelitian
12. Penjaminan mutu
13. Pembiayaan
14. Sanksi

PP sendiri membahas tentang:
1. Pembentukan FK, FKG, dan penambahan prodi kesehatan.
2. Internsip
3. DLP
4. Dosen di RS/wahana Pendidikan
5. Etika profesi dan sumpah dokter
6. Kerja sama FK/FKG dengan wahana/lembaga lain

Saya disini hanya menganalisis tiga fokus utama: pembukaan FK baru, internsip, dan DLP.

Tentang Pembukaan FK Baru

Secara umum, PP mengatur lebih detil tentang pembukaan FK baru dibanding UU. Adapun syarat-syarat pembentukan FK baru tersebut:

Pasal 4
(1) Pembentukan Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit harus memiliki: 
a. studi kelayakan dan naskah akademik;
b. rencana strategis, termasuk rencana induk penelitian, dan pengabdian masyarakat;
rancangan kurikulum yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Kedokteran;
d. Dosen yang memenuhi jumlah, jenis keilmuan, dan kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
e. tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
f. lahan dengan status hak milik/hak pakailhak guna bangunan atas nama badan penyelenggara perguruan tinggi;
gedung untuk penyelenggaraan pendidikan yang memenuhi standar kualitas sesuai aturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja;
h. laboratorium biomedis, laboratorium kedokteran klinis, laboratorium bioetika/ humaniora kesehatan, serta laboratorium kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat, yang digunakan untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran;
1. perencanaan sistem seleksi dan jumlah penerimaan calon mahasiswa dengan jumlah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
Rumah Sakit Pendidikan atau memiliki rumah sakit yang bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran yang dibuktikan dengan dokumen perjanjian kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. sumber pendanaan dan perencanaan anggaran untuk penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kedokteran gigi;
l. sistem penjaminan mutu internal;
m. hasil evaluasi tim independen yang dibentuk oleh Menteri; dan
n. rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Menarik bahwa menteri kesehatan di sini memliki poin yang harus dilengkapi sebagai rekomendasi, tidak lagi hanya berdasarkan keputusan Menteri Ristekdikti.

Tentang Internsip

Ketika sebelumnya di UU, internsip hanya disebutkan sebagai "pemahiran dan pemandirian" dokter yang telah disumpah, wajib,  dan dilaksanakan paling lama satu tahun pada bagian penjelasan. Adapun, dalam PP intersip dijelaskan sebagai berikut.


Pasal 7
Program Internsip secara nasional, dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 8
(1) Program Internsip dokter dilakukan dalam rangka pemahiran dan pemandirian dokter.
(2) Program Internsip dokter gigi dilakukan dalam rangka penyesuaian dalam pemantapan kompetensi di wahana yang berbeda-beda dan/atau hubungan antar profesi.
(3) Jangka waktu program Internsip diperhitungkan sebagai masa kerja.
Pasal 9
(1) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara Indonesia yang lulus program profesi dokter atau dokter Sigi dalam negeri dan luar negeri wajib mengikuti program Internsip.
(2) Syarat untuk mengikuti program Internsip meliputi:
a. lulus Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter atau Dokter Gigi;
b. telah disumpah sebagai dokter atau dokter gigi; dan
c. memiliki STR untuk kewenangan Internsip dan SIP Internsip.
(3) Syarat untuk mengikuti program Internsip bagi dokter atau dokter gigi warga negara Indonesia lulusan luar negeri meliputi:
a. lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh kolegium; dan
b. memiliki STR untuk kewenangan Internsip dan SIP Internsip.
Pasal 10
(1) Peserta program Internsip wajib didampingi oleh Dokter atau Dokter Gigi pendamping Internsip.
(2) Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bertugas memberikan peningkatan pemahaman dan kemampuan mengenai tugas dan fungsi Dokter atau Dokter Gigi pendamping Internsip.
Pasal 11
(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dalam rangka menyelenggarakan program Internsip dapat membentuk komite Internsip.
(21 Komite Internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat ex-officio dan berkedudukan di bawah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, tugas, dan fungsi komite Internsip diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 12
(1) Program Internsip dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat.
(3) Program Internsip dokter dan dokter gigi dilaksanakan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 13
Dokter atau dokter gigi yang telah menyelesaikan program Internsip memperoleh surat tanda selesai program Internsip yang diterbitkan oleh komite Internsip.
Pasal 14
Dokter atau dokter gigi yang mengikuti program Internsip wajib:
a. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia;
b. bekerja sesuai dengan standar kompetensi, standar pelayanan, dan standar profesi;
c. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh selama pendidikan dan mengaplikasikannya dalam pelayanan kesehatan;
d. mengembangkan keterampilan praktik kedokteran pelayanan kesehatan primer yang menekankan pada upaya promotif dan preventif;
e. bekerja dalam batas kewenangan klinis, mematuhi peraturan internal fasilitas pelayanan kesehatan, serta ketentuan hukum dan etika; dan
f. berperan aktif dalam tim pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan;
Pasal 15
Dokter atau dokter gigi yang mengikuti program Internsip berhak:
a. mendapat bantuan biaya hidup dasar, transportasi, dan/atau tunjangan;
b. mendapat perlindungan hukum sepanjang mematuhi standar profesi dan standar pelayanan;
c. mendapat Dokter atau Dokter Gigi pendamping; dan
d. mendapat fasilitas tempat tinggal.
Pasal 16
(1) Biaya penyelenggaraan program Internsip dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2) Pemerintah Daerah memberikan fasilitas dalam penyelenggaraan program Internsip.
Pasal 17
(3) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan bersama Menteri dengan mengikutsertakan Konsil Kedokteran Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program Internsip dokter atau dokter gigi.
(4) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu program Internsip secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Pasal 18
(1) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang mengikuti program Internsip melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dapat menjatuhkan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan
c. rekomendasi penundaan penerbitan STR definitif.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan program Internsip diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Hal-hal penting yang diatur dalam PP tersebut adalah:
1. Hak-hak peserta program internsip. Selama ini seringkali kita dengar tentang ketimpangan kualitas wahana internsip, seperti tidak ada dokter pendamping, BHD tidak sesuai (bahkan telat), harus mencari sendiri tempat tinggal. Melalui PP ini, hal-hal tersebut harusnya menjadi kewajiban untuk bisa disediakan oleh penyelenggara, ataupun menjadi dasar untuk memprotes kebijakan yang tidak sesuai amanat.
2. Itu aja sih. Sisanya sepertinya sama atau hanya penulisan dari yang sudah-sudah. Setidaknya jelas saat ini bahwa yang mengatur internsip dari kemkes melalui Badan PPSDM Kesehatan (http://www.internsip.kemkes.go.id). Pun hal-hal yang belum diatur lebih lanjut akan dibuat di Peraturan Menteri.

Tentang Dokter Layanan Primer

DLP selalu menjadi topik hangat, setidaknya 3 tahun ke belakang ini. Saat UU ini pertamakali muncul, publik seolah digegerkan dengan istilah baru melengkapi dokter dan dokter spesialis yang selama ini lazim didengar, ditambah istilah baru dokter layanan primer. Barang apakah itu? Dalam penjelasannya, dituliskan bahwa DLP adalah
Program dokter layanan primer ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional.
Dalam PP ini diatur lebih detil tentang pokok-pokok DLP. Pasal-pasal yang terkait sebagai berikut.
Pasal 20
(1) Program DLP merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program Internsip yang setara dengan dokter spesialis.
(2) Program DLP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat pilihan pendidikan profesi kedokteran.
(3) Program DLP setara dengan program dokter spesialis dalam hal standar pendidikan, pengakuan, dan penghargaan terhadap lulusan. 
Pasal 21
(1) DLP memiliki fungsi:
a. memberikan pelayanan kesehatan di pelayanan primer yang berpusat pada individu, berfokus pada keluarga, dan berorientasi pada komunitas yang sesuai dengan latar belakang budaya;
b. menyediakan pelayanan holistik yang mengintegrasikan faktor biologis, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual dengan membina hubungan dokter-pasien yang erat dan setara;
c. menyediakan pelayanan komprehensif meliputi promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, rehabilitasi dan pelayanan paliatif, yang berkelanjutan pada semua kelompok usia dan penyakit; dan
d. memberikan pelayanan sesuai etik dan bertanggung jawab secara profesional berbasis bukti ilmiah.
(2) DLP bersama dokter spesialis-subspesialis, dokter gigi spesialis-subspesialis, dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan lain berpartisipasi aktif melaksanakan program jaminan kesehatan nasional dan program nasional lain pada pelayanan kesehatan.
(3) DLP memiliki kompetensi sesuai dengan standar kompetensi DLP.

Pasal 22
(1) Program DLP hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran yang memiliki program studi kedokteran dengan peringkat akreditasi tertinggi.
(2) Fakultas Kedokteran dalam menyelenggarakan program DLP berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam bentuk penjaminan mutu uji kompetensi.
(4) Dalam hal mempercepat terpenuhinya kebutuhan DLP, Fakultas Kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran yang memiliki program studi kedokteran dengan kategori akreditasi setingkat lebih rendah dalam menjalankan program DLP. 
Pasal 23
(1) Program DLP dapat dilakukan melalui rekognisi pembelajaran lampau.
(2) Rekognisi pembelajaran lampau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengakuan atas capaian pembelajaran dari pendidikan formal, nonformal, informal, dan/atau pengalaman kerja ke dalam pendidikan formal.
(3) Rekognisi pembelajaran lampau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Pasal 24
(1) Program DLP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilaksanakan pada:
a. wahana pendidikan DLP; dan/atau
b. Rumah Sakit Pendidikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai wahana pendidikan DLP sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, setelah berkoordinasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. 
Pasal 25
(1) Program DLP dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan dan standar kompetensi DLP.
(2) Standar pendidikan dan standar kompetensi DLP mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Kedokteran.
(3) Standar pendidikan dan standar kompetensi DLP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun bersama oleh Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Organisasi Profesi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, dan disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(4) Sistem penjaminan mutu program pendidikan DLP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan program DLP diatur dengan Peraturan Menteri.
 Peran Apa yang Akan Kita Ambil Ke Depan?

Munculnya PP ini jelas merupakan sebuah keharusan karena amanat UU. Banyak dari isinya pun akhirnya menjawab polemik yang selama ini terjadi di masyarakat. Banyak hal-hal positif yang dapat kita pegang dan dijadikan dasar, seperti pada pembahasan internsip. Kekhawatiran atau realita kondisi yang terjadi di lapangan, seperti ketiadaan pendamping, BHD yang dibayarkan tidak sesuai, fasilitas yang minim, seharusnya dapat lebih ajek dikawal bersama sesuai PP, baik oleh  peserta program ataupun organisasi mahasiswa.

Terkait DLP, dalam tulisan kali ini, saya tidak memperdebatkan segala kelebihan dan kekurangannya, yang selama ini sudah banyak kajian bertebebaran yang cukup komprehensif. Akan tetapi, saya akan fokus pada apa dampak adanya PP ini pada pendidikan kedokteran di masa mendatang, menurut saya.

Pada akhirnya, pemerintah memiliki hak, bahkan wajib, untuk mewujudkan program-program yang telah diamanatkan. DLP, cepat atau lambat, akan jalan dan pendidikan kedokteran akan memasuki era baru. Ruang diskusi terkait setuju/tidak setuju harus mulai digeser ke arah, bagaimana agar aspirasi-aspirasi yang dikahawatirkan oleh para pihak kontra, dapat ditampung dan disiasati agar tidak terjadi.

Beberapa hal yang menurut saya masih perlu dijawab oleh Pemerintah terkait DLP adalah,

1. Kurikulum. Hal-hal yang dikatakan akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri tentu dinanti-nanti. Sampai saat ini, saya pun masih bingung apa saja hal-hal yang akan dipelajari oleh DLP dalam realitanya.

2. Evidence-based DLP/pilot project di Indonesia. Pembuktian perlu ditunjukkan lewat kualitas DLP yang bekerja di layanan primer, dapat memberikan dampak lebih baik.

3. Konkrit dari perbedaan DLP dengan dokter (umum) dan sarjana kesehatan masyarakat. Masih banyak tanda tanya, apakah nantinya DLP menjadi kepala Puskesmas? Apakah dalam rekam medisnya, kajian individu lebih komprehensif? Apakah DLP lebih banyak aktif melakukan pendekatan langsung ke masyarakat dibanding duduk di belakang meja praktik? Bagaimana agar tidak tumpang tindih dengan pelaku kesehatan masyarakat? Atau, sebenarnya DLP sama seperti dokter (umum) tetapi dengan pengetahuan yang lebih banyak?

Sembari menunggu Pemerintah perlahan menjawab tantangan layanan primer di Indonesia, kita juga tidak boleh hanya asik menonton sambil menyeruput segelas kopi hangat. Turut berkontribusi dengan menciptakan program-program pengabdian ke masyarakat adalah langkah konkrit yang bisa dilakukan, seperti melalui community development. Kedua, menjadi mitra kritis pemerintah untuk memberi masukan konstruktif. Sikap-sikap penolakan harus mulai digeser untuk sama-sama bekerja mewujudkan DLP seideal mungkin.
Jika bangsa ini butuh orang cerdas, maka tentu bangsa ini sudah lebih dulu maju
Akan tetapi nyatanya cerdas saja belum cukup, butuh juga baik
Mereka yang cerdas dan baik yang akan berupaya maksimal demi kemajuan bangsa
Bangsa ini butuh Anda!
Jakarta, 13 Januari 2017
Fadhli Waznan

No comments:

Post a Comment

Sedikit opinimu akan sangat berarti bagi saya :D