(tulisan ini adalah sebuah
refleksi berdasarkan pengalaman penulis. Data dan informasi yang disajikan
mungkin benar, tetapi masukan dari pembaca adalah yang utama)
Menjadi
pemimpin di kalangan mahasiswa, saya pikir punya tantangan tersendiri dibanding
pemimpin-pemimpin di level lain (terutama di masyarakat terpimpin yang tidak
melihat langsung bagaimana keseharian pemimpinnya). Karena pemimpin mahasiswa
pasti hidup, tumbuh, dan besar di civil
society yang sama dengan tempat ia memimpin. Oleh karena itu, integritas
dan karakter dari pemimpin mahasiswa akan melewati uji lapangan. Apakah yang ia
lakukan sesuai dengan yang ia ucapkan? Apakah ia pantas untuk memimpin kami?
Bagaimana kehidupan akademis dan keluarganya, sudahkah ia beres dengan urusan
pribadinya? Hal ini akhirnya akan membuat publik memiliki dua sikap. Sikap
pertama, segan saat pemimpinnya memiliki kualitas bukan sekedar pencitraan.
Sikap kedua, antipati melihat ketidaksesuaian realita.
Dari seseorang
manusia ‘blank state’ menuju apa yang
disebut dengan pemimpin ideal, setidaknya ada dua pintu yang menurut saya harus
dibuka melalui kuncinya masing-masing. Kunci pertama adalah kunci esensial dan kunci
kedua adalah kunci nilai tambah.
Kunci Esensial
Sesuai dengan
namanya, esensial artinya wajib/harus/kudu ada dalam seorang pemimpin. Setelah
saya mempelajari, menurut saya satu hanya satu hal yang harus ada dalam
kriteria ini: kematangan karakter.
Pada dasarnya
menjadi pemimpin adalah sebuah amanah. Amanah terkadang tidak bisa dipih,
melainkan memilih orang yang tepat. Kondisi ini tidak akan muncul jika tidak
ada kepercayaan dari orang yang memberikan. Dalam membentuk kepercayaan itu,
seseorang harus membuktikan seberapa jujur dirinya, prinsip apa yang dia pegang
(biasanya adalah senantiasa ingin memberi manfaat bagi orang lain), seberapa
sering ia menepati perkataannya, tindakan apa yang dilakukan saat melihat
adanya masalah, dan lain sebagainya berkaitan dengan kematangan karakter. Dengan
memiliki “kemampuan” ini, seseorang akan berhasil membuka pintu pertama dan
mendapatkan titel baru: pemimpin.
Kunci Nilai Tambah
Sudah mendapat
gelar baru, apakah cukup? Dengan matangnya karakter, beratnya amanah
kepemimpinan mungkin dapat dilalui. Pertanyaannya, bagaimana ‘akhir’ cerita
dari hasil kepemimpinannya, sekedar pelengkap biografi organisasi ataukah
menambah deret prestasi? Hal ini dapat dijawab jika seseorang memiliki kunci
kedua.
Saya membuat
definisi operasional sendiri terkait hal ini. Nilai tambah bagi saya adalah
hal-hal yang dapat mengakselerasi “sesuatu” tetapi tidak akan membuat “sesuatu”
tersebut mati jika tidak ada hal itu…. Intinya, kebutuhan sekunder/tersier dari
seorang pemimpin. Termasuk di dalamnya: kemampuan public speaking, prestasi akademis yang gemilang, kemampuan teknis
yang baik, paham akan perkembangan teknologi, jago olahraga, ganteng, punya
penghasilan, populer, senantiasa memerhatikan bawahan, dan lain sebagainya.
Hal-hal di
atas pada akhirnya akan membuat kepemimpinan seseorang semakin disegani,
terlebih saat ia berhasil menyebarkan hal tersebut dalam organisasinya pula
(yang mana justru adalah sebuah keharusan). Organisasi akan berjalan progresif,
harmonis, dan inspiratif, seperti tidak pernah dilakukan oleh organisasi
sebelumnya. Di saat itulah kunci nilai tambah berhasil terbuka, membuat
seseorang mendapat gelar baru: pemimpin ideal.
Pemimpin Ideal: Sebuah Proses
Yang salah
adalah terkadang seseorang merasa dirinya tidak mampu menjadi seorang pemimpin
karena menjadikan “nilai tambah” sebagai alasan. Padahal memang seberapa banyak
pun nilai tambah yang dimiliki seseorang, tidak akan menjadikannya pemimpin,
tanpa ia berhasil membuka pintu pertama. Seorang public speaker yang hebat, tidak akan dipercaya jika ia hanya
berkata tanpa bertindak (tidak berintegritas). Seseorang yang gemilang
akademisnya tidak akan dipercaya jika ia mencapainya menghalalkan segala cara
(tidak jujur). One can’t be achieved
before get rid of anothers. Kepemimpinan ideal tidak akan bisa dicapai
tanpa adanya nilai tambah seorang pemimpin dan titel pemimpin tidak akan
tercapai tanpa adanya kematangan karakter. terselesaikan. Lantas, haruskah kita
memiliki kedua kunci terlebih dahulu sebelum memimpin? Atau pada level manakah
‘tingkat’ dari kedua kunci itu harus dimiliki?
Faldo Maldini
tidak akan pernah sehebat saat ini tanpa melalui proses yang ada. Apakah
dirinya saat ini sama seperti ia mejadi ketua BEM FMIPA 2011 dulu? Tentu tidak.
Lantas mengapa ia sekarang bisa menjadi seperti dirinya saat ini? Karena sebuah
proses yang terus menempanya. Jika ia terus memikirkan bahwa menjadi pemimpin
haruslah seseorang yang ideal, tentu tidak akan ada Faldo Maldini saat ini,
karena ia tidak akan pernah berani mencoba. Pada akhirnya pemimpin ideal adalah
sebuah utopia. Yang ada adalah proses menuju pemimpin ideal. Kita
tidak akan pernah mencapai taraf pemimpin ideal saat tidak melewati proses
menujunya (yang hanya dapat dicapai jika kita mulai untuk memimpin). Semua
orang paham bahwa tidak akan ada manusia yang sangat ideal, pasti setiap orang
memiliki kekurangan. Hidup adalah sebuah proses pembelajaran, setiap pembelajaran
tersebut akan menghasilkan pengalaman, kematangan karakter, dan nilai tambah
yang terus meningkat seiring berjalannya waktu dan level kesukaran. Proses ini
tidak pernah selesai. Maka yang terpenting dari seseorang saat ia ingin menjadi
pemimpin, adalah keberanian mencoba dan kematangan karakter.
Beranikah kita
menjawab amanah yang ditujukan kepada kita? Beranikah kita memegang teguh
kematangan karakter yang kita miliki? Siapkah kita untuk belajar dalam setiap
tahapan prosesnya? Hanya dengan mencoba, satu-satunya jawaban. Saat kamu
berhasil, pegang terus kedua kunci itu. Maka kamu akan dihormati dan disegani
oleh orang-orang. Itulah yang saya pelajari tentang menjadi pemimpin di kalangan
mahasiswa.
#baktinusa #kepemimpinan #SLT #dompetdhuafa
tetep hargai proses ya
ReplyDeletekarena pemimpin yg baik lahir dari proses yg baik pula